Aku Membunuhnya

“Yan? Sudah boleh dibuka penutup matanya? Aku merasa seperti orang buta kalau begini.” Rengekku kepada Ryan yang mengatakan akan membawaku ke suatu tempat.

“Setelah kita sampai aku akan membukanya, sayang. Sabar sebentar lagi ya.” Jawab suara beratnya dengan lembut. Kurasakan puncak kepalaku diusap secara perlahan.

“Iya, dari tadi kamu selalu bilang sebentar, sebentar dan sebentar tapi buktinya aku jatuh tertidur sampai aku bangun lagipun tetap ‘gelap’ yang terlihat.” Ujarku jengkel. “Mau ke mana kita sekarang? Ayolah jujur saja…” aku mulai memelas.

“Kalau aku kasih tahu, nanti bukan kejutan lagi namanya. Coba belajar kuasai rasa penasaranmu itu.” Godanya.

Aku menurut lalu berhenti berbicara. Duduk manis tanpa merengek lagi di samping Ryan yang sedang mengemudi. Aku juga tak ingin membuat konsentrasinya buyar karena rengekkanku. Yang aku ketahui, sekarang aku sedang berada di mobil pribadi Ryan. Sedangkan yang tidak aku ketahui adalah ke mana tujuan Ryan akan membawaku pagi-pagi buta begini.

Tak beberapa lama, setelah aku berhasil mengunci segala rasa penasaranku, aku merasakan mobil yang aku tumpangi ini berhenti. Kudengar suara Ryan turun dari mobil. Ya Tuhan! Jangan biarkan dia meninggalkanku sendirian. Kemudian kaca mobil di sampingku diketuk. Posisi dudukku berubah menjadi lebih tegak.

“Sudah sampai. Sekarang kamu turun pelan-pelan ya.”

Aku tak menjawab, hanya bernapas lega karena tadinya kukira dia akan meninggalkanku. Mengangguk pelan lalu mengikuti intruksinya sambil meraba-raba di mana harus kupijakkan kakiku. Setelah badanku keluar dari mobil dengan sempurna, Ryan menyuruhku untuk membuka sendal tidurku dan bertelanjang kaki.

“Sekarang apa lagi? Matanya juga masih ditutup kan…” keluhku.

“Sudah ikuti saja intruksiku. Sekarang aku gendong ya? Siap!” perintahnya.

Aku belum sempat mengeluarkan sepatah kata pun namun Ryan sudah membuat badanku tidak lagi bertumpu di kedua kakiku. Aku pasrah. Kurasakan badanku berguncang-guncang dalam pelukkannya. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Tapi, tunggu! Samar-samar aku mengenal tempat ini dari langkah Ryan yang lambat laun terhenti dan menapaki sesuatu secara perlahan.

“Ryan! Turunkan aku! Sekarang! Sekarang, Ryan! S-e-k-a-r-a-n-g!” bentakku.

“Mila?” lirihnya kaget mendengar aku membentaknya.

Ia menurunkanku dengan selamat. Membuatku bertumpu di atas kedua kakiku sendiri dan merasakan di mana sekarang ia membawaku. Aku…diam-diam menangis.

Aku kenal angin yang sekarang sedang memainkan gelombang rambutku. Aku hapal mati butiran-butiran halus yang sekarang menyelimuti kedua kakiku. Aku tahu riak-riak air yang menyapa kakiku. Aku tahu sekarang aku berada di….

Tiba-tiba kain yang menutup mataku tadi dibuka dan… “Happy Birthday Milania! Love you forever! You’ll love sunrise, Darl.” teriak Ryan.

Foto2565

Kurasakan degup jantungku yang semakin cepat. Napasku memburu. Rahangku mengeras. Kepalan tanganku mengeras. Kugigit bibir bawahku. Iya. Aku benar. Aku tidak pernah salah tentang ini. Tentang pemandangan yang sekarang berada di depanku. Tentang P-A-N-T-A-I. Tentang segala kenangan yang terjadi di sini tepat sepuluh tahun yang lalu.

Semua memoriku tentang sepuluh tahun yang lalu kembali membanjiri ingatanku membuatku merasa disengat aliran listrik yang cukup membuatku mati seketika. Aku benci Ryan! Aku benci Ryan!

“Hentikan segala leluconmu yang sama sekali ti-dak lu-cu itu! Aku membencimu!” ucapku sambil membalikkan badan menjauh dari pemandangan itu.

“A.. Apa yang salah? Aku.. aku hanya membawamu ke pantai.” Ucapnya kaku karena kuyakin dia tetap mematung di sana.

“Jangan pernah lagi membawaku pergi ke manapun kamu mau! Jangan pernah!” teriakku sambil setengah berlari menapaki bebatuan untuk kembali ke jalanan.

Aku tahu aku emosi dan menyebabkan sedetik kemudian aku jatuh terjerembab ke bebatuan. Tanpa berkata apa-apa tangan kanan Ryan meraih tangan kananku dan melingkarkan ke pundaknya. Tangan kirinya ia lingkarkan di pinggangku. Ia membantuku berjalan perlahan menuju pinggiran pantai untuk duduk. Membiarkan lututku yang sobek karena tergores bebatuan tadi.

“Jelaskan padaku apa yang telah terjadi.” Nadanya dingin dan penuh penekanan membuatku menatap mata hitamnya dengan takut.

“Oh, jadi kamu belum tahu? ‘Menculik’-ku dari kamar sebelum pukul empat pagi, menutup mataku selama beberapa jam dan OH TUHAN! Memberiku kejutan. Kejutan ulang tahun katamu?” ucapku sarkatis.

Ia diam tak bersuara. Kulihat rahangnya mengeras, pandangannya menyipit terpaku padaku. Seolah mengisyaratkan ‘Katakan saja cepat apa yang salah! Jangan buat aku menyesal telah melakukan semua ini!’

“Kamu tahu?” Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku menatap matanya lekat, lalu mengatakan “Tepat sepuluh tahun yang lalu. Pukul delapan pagi. Di sini, di tempat ini, di pantai ini. Aku membunuh adik kandungku sendiri!” aku menelan ludah, tangisku pecah tapi aku malah tertawa dibuat-buat.

Seketika mata Ryan membelalak sempurna. Bibirnya yang sedari tadi mengatup, sekarang terbuka. “Ba..ba..bagaimana bisa? Bagaimana mungkin!” tukasnya.

“Ayah dan ibuku sedang duduk di sini, persis di tempat yang kita duduki sekarang. Mereka berteriak padaku dan Milo, adikku, untuk tidak pergi ke tengah sana.” tangan kiriku menunjuk ke kejauhan. “Namun kami bermain dan lupa diri hingga sudah jauh dari tepi pantai. Saat itu dia memakai pelampung dan aku tidak. Saat aku merasa kakiku tak mampu menjangkau dasar pantai dan napasku sesak, aku berusaha merebut pelampung itu. Atau paling tidak, berbagi pelampung itu denganku.

Adikku yang masih berusia 5 tahun itu masih polos. Ia mengira aku hanya bercanda dan ingin bermain rebut-rebutan dengannya…

Saat itu usiaku 10 tahun. Aku mulai mengerti arti ‘ketakutan’. Dan ketika aku sadar, aku masih mengapung hingga ke tengah sana. Aku takut. Sungguh, aku takut!”

Ryan memelukku. Menepuk punggungku perlahan, berusaha menenangkanku. Akan tetapi memori itu terus dan terus terputar ulang tanpa bisa dicegah apa lagi dihentikan.

“Saat aku benar-benar merasa kehabisan napas, kudorong adikku kuat-kuat agar lepas dari pelampung itu. Kamu tahu? Aku mendapatkan pelampungnya, Yan! Aku mendapatkannya! Aku berusaha mengatur napas di atas pelampung itu. Tak menghiraukan tangan mungil itu berusaha menggapai-gapaiku. Aku ingat aku menepis tangannya, Yan!” aku melepas pelukan Ryan, menatap matanya yang sudah berkaca-kaca.

“Lalu beberapa detik kemudian dia menghilang… Benar-benar menghilang dari jangkauan mataku. Aku berteriak memanggil namanya tapi dia tak pernah muncul!” sekarang aku yakin aku mulai gila. Tanganku mengguncang pundak Ryan seiring emosiku mengingat semuanya.

“Aku menangis. Terus menangis di tengah sana. Beberapa menit kemudian ada petugas pantai yang menghampiriku. Menyelamatkanku! Menanyakan kondisiku dan membawaku ke daratan, kepada orang tuaku yang ‘mencemaskan’ku. Tapi kamu tahu satu hal? Mereka sama sekali tidak melihatku. Mereka melintas di sampingku lalu menanyakan keberadaan adikku. Petugas itu menjawab ‘tidak tahu dan akan mencari’. Ayah dan ibuku jatuh terduduk dan menangis. Menangisi adikku, mencampakkanku!

Aku tetap diam berdiri mematung di samping mereka. Menggigil kedinginan. Tapi bukan badanku yang beku. Hatiku yang beku. Terlebih saat ibuku membentakku mengatakan, ‘ibu sudah bilang jangan bawa adikmu ke tengah-tengah! Kau ingin membuat adikmu sendiri MATI, hah?’ saat itu aku tahu, aku sadar, aku yang menyingkirkannya dari dunia ini… aku, membunuhnya… AKU MEMBUNUHNYA!”

“Kau tidak membunuhnya, Mila… Itu kecelakaan. Murni kecelakaan. Orang tuamu pun sekarang sudah tidak menyalahkanmu lagi…”

“Tapi hatiku, Yan… Dia selalu hadir di setiap mimpiku! Suaranya memanggil namaku… Dia ketakutan…”

Tulisan ini diikutsertakan di Tantangan Menulis #KabarDariJauh di Kampus Fiksi. 🙂

12 pemikiran pada “Aku Membunuhnya

  1. I owe you a comment, then here we go.
    Gue gak bakal komen ttg eyd or penulisan yg baik gimana, lu lebih ngerti kok, hehe.
    Di awal rapih, gue asik ngikutinnya, tapi pas menuju klimaks kok agak kurang ngena yah, kurang beuh gituh.
    Kayaknya kita berdua harus lebih banyak belajar mengolah klimaks, supaya karya karya kita nggak terlihat amatir.
    Intinya sih masih ada kesan amatirnya, yas.
    No offense yah, semoga kritik gue membangun :*
    Ditunggu komen lu di karya karya gue :p hehehe

  2. Wah, bagus tulisannya! 😀

    Aku suka cara kamu membawakan cerita romantis ini ke suasana thriller. Cara penulisannya juga baik. Kalau ditambahkan lagi dengan lebih banyak kalimat deskriptif, pasti makin menarik! 😀

    Oh ya, aku owner dari CariPenulis.com (@CariPenulis_Com on Twitter)

    Semangat menulis! 😉

Tinggalkan Balasan ke Iyas Batalkan balasan